![]() |
HERI HIDAYAT Ketua Yayasan LEGAL (Lembaga Advokasi Lampung) |
Berdasarkan inventarisir data dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Dari 26 perkara pilkada yang di kabulkan MK pada Februari 2025, 24 diantaranya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing daerah untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU). Dari 24 putusan PSU tersebut, 14 daerah melakukan PSU di seluruh TPS dan 10 daerah melakukan PSU di sebagian TPS. Dari 14 perkara yang dijatuhkan PSU di seluruh TPS, ada total 12 orang dari 11 daerah yang dinyatakan diskualifikasi pencalonannya oleh MK diantaranya yaitu 1 calon wakil gubernur, 1 calon walikota, 8 calon bupati dan 2 calon wakil bupati.
Yang menjadi persoalan, apakah diskualifikasi calon merupakan bagian dari sengketa perselisihan hasil pilkada yang dapat diadili oleh MK ?
Sebelumnya, Pilkada serentak se-Indonesia diselenggarakan pada tahun 2024, sebanyak 545 daerah telah menyelenggarakan pesta demokrasi dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Banyak peserta yang tidak puas terhadap hasil pilkada tersebut dan menempuh jalur gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilkada ke MK.
Sebanyak 310 perkara dari 249 daerah (dalam satu daerah ada lebih dari satu perkara) teregistrasi di MK yaitu 23 perkara PHPU Gubernur dan Wakil Gubernur, 49 perkara PHPU Walikota dan Wakil Walikota serta 238 perkara PHPU Bupati dan Wakil Bupati. Dari seluruh perkara tersebut, hanya 40 perkara yang berlanjut ke pembuktian. Hingga akhirnya MK mengabulkan 26 perkara, menolak 9 perkara dan 5 perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
Sengketa Proses dan Sengketa Hasil
Menurut Pasal 156 UU Pilkada, sengketa hasil adalah sengketa berkaitan dengan hasil perolehan suara yang signifikan (diajukan dengan syarat ambang batas persentase / tertentu). Maka secara logis persoalan apapun diluar penetapan hasil perolehan suara (termasuk pelanggaran administratif dan pidana) adalah bagian dari sengketa tahapan / proses.
Secara legalitas, awalnya kewenangan MK dalam menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) diatur dalam dasar hukum tertinggi yaitu pasal 24C ayat 1 UUD 1945, diperkuat dengan UU Pemilihan Umum. Kewenangan tersebut terbatas pada persoalan Pileg dan Pilpres.
Mengenai pilkada, mulanya MK tidak memiliki landasan hukum untuk menangani sengketa hasil, UU Pilkada telah mengatur tersendiri tentang penyelesaian sengketa pilkada melalui lingkup Mahkamah Agung (MA).
Dalam perubahannya, UU Pilkada mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus sengketa hasil perolehan suara, namun MK diberi kewenangan sementara untuk mengadili sengketa hasil pilkada sepanjang badan peradilan khusus belum terbentuk.
Pada perkembangannya, MK justru menghapuskan ketentuan pembentukan badan peradilan khusus dan melegalkan perannya sebagai pengadil “permanen” sengketa hasil pilkada melalui produk hukumnya sendiri melalui Putusan 85/PUU-XX/2022 (uji materi UU Pilkada oleh Perludem). Apakah dengan putusan tersebut MK dapat serta merta mengadili semua persoalan Pilkada?
Perlu dicermati bahwa putusan tersebut hanya berkaitan dengan uji materi pasal 157 ayat (1), (2) dan (3) mengenai domain peradilan yang berwenang menangani perselisihan hasil. Maka sebenarnya MK hanya tetap berwenang untuk sebatas mengadili hasil, bukan mengadili prosesnya.
Sedangkan untuk sengketa proses, baik dalam UU Pemilu maupun Pilkada sudah sangat jelas bahwa kewenangan menangani sengketa proses tersebut adalah domain Bawaslu dan peradilan lingkungan MA.
Meskipun substansi putusan diskualifikasi oleh MK merupakan suatu hal yang “mungkin” baik dalam menopang demokrasi, namun secara legal formil ada kekeliruan / malprosedur dalam penegakan hukumnya.
Sengketa proses yang berkaitan dengan pelanggaran administratif (kecuali TSM sebagaimana dimaksud pasal 135A ayat (1) UU Pilkada) sepatutnya dapat diselesaikan pada tahap awal penyelenggaraan pilkada (sebelum pemungutan suara) dan bukan di akhir penyelenggaraan, sehingga tidak perlu untuk membatalkan pemungutan suara yang telah dilakukan terlebih lagi melakukan PSU menyeluruh dalam satu daerah.
Fenomena diskualifikasi ini bukan kelaziman dalam sejarah sengketa hasil di MK. Pilkada yang telah dilaksanakan menjadi sia-sia, PSU di seluruh TPS juga pasti membutuhkan anggaran besar, hal ini tidak sejalan dengan kebijakan efesiensi anggaran yang sedang digaungkan pemerintah. Ini bukan kesalahan KPU maupun Bawaslu semata, melainkan disebabkan juga oleh implementasi hukum yang keliru khususnya tentang batas wewenang mengenai sengketa proses dan sengketa hasil.
Pada kenyataannya MK sudah memutuskan, keputusan tersebut final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan sesuai bunyi amar putusannya masing-masing.
Penting bagi DPR RI maupun Pemerintah kedepannya untuk segera merevisi UU Pilkada atau merangkum segala perubahan regulasi pilkada dan mengkodifikasikan kedalam rancangan UU Pilkada terbaru yang menegaskan bahwa sengketa proses dan sengketa hasil tidak dapat diadili pada waktu yang bersamaan diakhir pilkada.
Press Release
Renggut Pesta Demokrasi, Diskualifikasi Pilkada Bukan Ranah MK ?
Oleh: HERI HIDAYAT, S.H.
Ketua Yayasan Lembaga Advokasi Lampung (LEGAL)
0 comments